Seseorang yang pernah menekuni latihan meditasi, pasti pernah mengalami muncul dan tenggelamnya kesadaran, pikiran yang liar sehingga timbul secara bergantian kesan-kesan masa lalu dan harapan-harapan untuk masa depan, timbulnya perasaan yang terus menerus berubah. Disaat itu lah kita melatih untuk mengendalikan semua sensasi yang muncul dengan melatih kewaspadaan kita sehingga muncul ketenangan.
Tapi bagi mereka yang belum pernah menekuni latihan meditasi atau sekedar mencoba meditasi dan belum dapat memperhatikan sensasi yang muncul, tidak akan pernah bisa berpendapat yang sama dengan mereka yang telah menekuni latihan meditasi, apalagi mau mengukur tingkat dan hasil latihan mereka, karena semua pengetahuan tersebut tidak diperoleh oleh mereka yang tidak pernah menekuni latihan meditasi tersebut.
Sama halnya, ketika seseorang mempelajari ilmu kedokteran. Semakin banyak seseorang belajar, maka semakin dalam pengetahuan yang dia peroleh. Tapi apa tolak ukur dari hasil yang diperolehnya ? Hanya mereka yang pernah mempelajari ilmu kedokteran juga (setingkat/setaraf dan tingkat yg lebih tinggi) yang dapat menilainya. Namun apakah orang lain yang tidak pernah mempelajari ilmu kedokteran bisa dengan mudah menilai hasil yang diperoleh seseorang yang telah mempelajari ilmu kedokteran ?
Pertanyaan lainnya, apakah hasil yang diperoleh sama persis untuk setiap orang yang melalui tahaf belajar ilmu kedokteran ?
Saya teringat dulu ketika masih dibangku sekolah dasar, dalam 1 kelas bisa terdiri 30-50 murid (tergantung sekolahannya), dalam 1 kelas semua murid tersebut melalui proses belajar yang sama dan jenis pelajaran yang sama, tapi hasil yang akan diperoleh setiap murid tidak mungkin sama, karena tergantung dari tingkat keseriusan (faktor semangat dan tekat) dan penalaran setiap murid yang melalui proses belajar ?
apakah anak TK bisa menilai hasil belajar yang diperoleh anak disekolah dasar ? Tapi apakah guru dikelas dapat menilai hasil belajar yang diperoleh anak didiknya ? kenapa ?
Tolak Ukur Meditasi
Beragama dan Beriman
Dulu guru pelajaran Katholik saya pernah mengatakan "Lebih baik kita beriman dari pada beragama", jika saya tidak salah pernyataan tersebut berasal dari pernyataan Romo Manggun (Alm) . Awalnya saya tidak terlalu memahami apa makna dari pernyataan tersebut, sampai akhirnya saya berkutat dalam diskusi maya mengenai Agama.
Pernyataan itu memiliki arti yang cukup dalam, beragama (kearah luar, jasmani) belum berarti kita beriman, beragama bisa menyatakan identitas seseorang dimana ia menggunakan atribut yang dapat menyatakan Agamanya, misalkan menggunakan kalung salib, menggunakan jilbab, membawa kitab suci. Sedangkan beriman (kearah dalam, bathin), seseorang tidak perlu menunjukkan Agamanya beserta atributnya tetapi pikiran, ucapan dan perbuatannya terjaga baik sesuai dengan ajaran Agamanya.
Ini lah yang kita perlukan dalam masyarakat heterogen, untuk apa kita menunjukan ke-agama-an kita, sementara hal tersebut dapat menimbulkan perselisihan dan permusuhan. Agama yang dianut seseorang merupakan suatu pilihan yang diambil karena kecocokannya dengan suatu ajaran Agama, tanpa paksaan dan desakkan. Ajaran Agama tersebut selanjutnya dianalisa dan dijalankan sehingga membentuk manusia yang bernilai karena pikiran, ucapan dan perbuatannya terjaga baik dengan atau tanpa atribut keagamaan.
Orang beragama juga lebih mementingkan ego terhadap Agama, sehingga biasanya lebih mudah marah dan tersinggung ketika Agamanya mendapat kritikan dan sindiran. Orang beragama juga lebih senang menunjukan identitas keagamaannya, sementara pikiran, ucapan dan perbuatan tidak sesuai dengan ajaran Agamanya.
Ada seorang wanita yang baru menikah, namun si suami berprofesi sebagai awak kapal, sehingga sering meninggalkan istrinya karena pekerjaan. Wanita ini suka menggunakan jilbab jika keluar dari rumah dan terlihat sangat sopan santun, tapi belakangan ia ketahuan selingkuh dengan pria lain. Wanita ini lebih menunjukan bahwa ia adalah seseorang yang beragama bukan seseorang yang beriman.
Dimana posisi kita, beragama ataukah beriman ?
Arti Sebuah Kepercayaan/Belief
Tiap orang yang mengaku memeluk suatu Agama, mengatakan bahwa ia memiliki suatu kepercayaan/belief yang besar dan mendalam terhadap Tuhan dan kebenaran dari Kitab Suci nya. Bahkan mengatakan bahwa kepercayaannya itu lah yang menuntun hidupnya, karena Tuhan yang dipercayai nya berperan aktif dalam hidupnya. Apakah benar demikian ?
Kepercayaan itu sendiri bersifat sangat halus dan mengakar kuat dalam benak/pikiran kita, ketika kita menerima dan meng-iya-kan suatu pernyataan/ide/gagasan mengenai suatu hal dan menganggap hal tersebut sebagai suatu kebenaran menurut cara pandang pribadi, itu lah yang menjadi dasar dari munculnya suatu kepercayaan/belief yang dikatakan sebagai hal yang luar biasa dalam diri manusia ketika seseorang menerima suatu ajaran Agama dalam hidupnya.
Hal ini pula yang menyebabkan munculnya banyak pendapat yang berbeda-beda mengenai kebenaran dalam suatu Agama dan merupakan penyebab munculnya banyak pendapat mengenai Tuhan pula, karena semua di nilai dari sudut pandang pribadi.
Sewaktu kita kecil, kita tentunya diberi pengertian, bahwa api itu panas dan merugikan (bersifat negatif). Ketika kita menerima dan meng-iya-kan pernyataan/ide/gagasan itu, maka itu sudah menjadi kepercayaan/belief dalam diri kita, tapi bisa dikatakan kepercayaan/belief yang membabi buta. Kenapa ? karena kita hanya menerima tanpa meng-analisa dan membuktikan pernyataan/ide/gagasan tersebut.
Api itu sebenarnya bersifat netral. Api tersebut berguna untuk memanaskan air agar dapat kita konsumsi, api juga berguna untuk menghangatkan tubuh ketika kita kedinginan, api juga bisa mengakibatkan kerugian besar bagi kita karena membakar harta benda bahkan tubuh kita. tergantung bagaimana api itu digunakan.
Bukan kah seharusnya demikian pula, kita harus meng-analisa bahkan membuktikan (proses yang membutuhkan waktu) sebelum kita langsung menerima/meng-iya-kan suatu pendapat/ide/gagasan. Sehingga kepercayaan/belief yang tertanam didalam benak/pikiran kita bukan didasarkan dari suatu kecerobohan/ketidaktahuan dan juga bukan karena tren dimasyarakat terlebih sekedar ikut-ikutan.
Apakah kepercayaan/belief memberikan manfaat dan keuntungan bagi manusia ?
Tidak semua kepercayaan/belief memberikan manfaat dan keuntungan bagi manusia, semua itu tergantung bagaimana manusia menyikapi kepercayaan/belief tersebut. Ada seseorang, karena terlalu besar kepercayaan/belief-nya ia rela mati untuk Tuhan dan Agamanya, berperang/membunuh atas nama Agamanya, apakah itu bukan suatu kebodohan ? Ada seseorang, karena terlalu besar kepercayaan/belief-nya ia bertobat dari sebelumnya berprofesi sebagai preman, sekarang menjadi pemuka Agama-nya.
Bukankah kepercayaan/belief itu merupakan pendapat/ide/gagasan yang diterima dan di-iya-kan oleh seseorang, sehingga terekam dalam pikiran/benaknya. Jadi point utama berada di pendapat/ide/gagasan awal. Setelah tersimpan/terekam dalam pikiran/benak seseorang, maka tahap selanjutnya tergantung bagaimana pikiran kita bekerja, jika imajinasi kita bekerja terlalu berlebihan dengan harapan dan perasaan yang besar, maka akan muncul suatu sikap fanatik (kepercayaan/belief yang berlebihan dari cara pandang pribadi). Hal itu yang mendorong seseorang untuk mengambil tindakan yang berlebihan pula, baik tindakan yang bersifat positif maupun negatif.
Imajinasi yang berlebihan mengakibatkan pikiran kita membentuk/mengambar sosok Tuhan dari suatu pendapat/ide/gagasan yang menjadi realitas dalam pikiran/benak kita. Ini pula yang menjadi dasar mengapa adanya konsep Ketuhanan sebagai sosok individu/personal (memiliki fisik dan sifat layaknya manusia). Jika kita masih didorong keinginan positif, maka tindakan kita bisa ke arah yang baik dan benar. Namun sebaliknya jika dorongan keinginan negatif lebih besar, maka tindakan kita bisa ke arah yang salah. Jadi apakah sosok tersebut adalah real seperti yang kita bayangkan dan harapkan (hasil kerja imajinasi kita) ? bukankah itu hasil pikiran yang menentukan tindakan kita ?
Jika kita mengatakan bahwa sosok Tuhan tersebut yang berperan aktif dalam hidup kita, maka tentunya Tuhan lah sumber dari segala kebahagian dan penderitaan kita. Namun jika kita dapat menyadari bahwa sosok tersebut merupakan buah pikiran hasil imajinasi kita, maka kita akan mengetahui bahwa baik atau buruk, karena pola pikir kita sendiri, bukan karena sosok Tuhan tersebut.
Semua itulah yang kita sebut sebagai kepercayaan/belief.
Aji Mumpung
Diantara kita pasti pernah mengalami kecelakaan lalu lintas baik kesalahan pribadi maupun dari kesalahan orang lain, hal itu mengakibatkan kerugian bagi kita seperti luka, cacat fisik, cacat permanen belum lagi kita mengalami kerugian materi untuk biaya pengobatan dan biaya perbaikan kendaraan kita yang rusak. Kita semua pasti tidak mau mengalami hal seperti itu, tapi tetap saja kesialan tidak dapat kita prediksi kedatangnya.
Beberapa hari yang lalu ada seorang ibu yang mengalami kecelakaan lalu lintas dan mengalami luka parah didaerah kepala sampai sempat koma beberapa hari. Untungnya nyawa ibu tersebut masih tertolong, hanya didaerah wajah mengalami luka dan lembab tapi tidak sampai menyebabkan geger otak.
Apakah hal tersebut bisa dikatakan mukjijat ? Apakah karena ada mahluk Adi Kuasa yang menolong si ibu tersebut ketika mengalami kecelakaan ?
Aji mumpung digunakan oleh beberapa pemeluk Agama dengan tujuan pribadi (kebanggaan pribadi dan meyakinkan dirinya bahwa Agamanya benar) maupun dengan tujuan kelompok (Agama) dengan berspekulasi terhadap suatu peristiwa/kejadian yang dialami manusia dikait-kaitkan dengan dogma Agama mereka.
Seperti ibu tersebut, dikatakan untung tidak sampai mengalami geger otak dan masih bisa hidup sampai saat ini adalah mukjijat, karena Tuhan menolongnya. Apakah masih ada kata "untung" dalam setiap peristiwa/kejadian yang tidak menyenangkan seperti itu ? Jika memang mukjijat itu benar, kenapa datangnya setelah suatu peristiwa/kejadian itu terjadi ?
Kenapa pertolongan tersebut tidak datang sebelum peristiwa/kejadian tersebut terjadi ? sehingga tidak ada kecelakaan yang terjadi, karena telah ditolong terlebih dahulu sebelum peristiwa/kejadian yang tidak menyenangkan terjadi.
Jangan mengatakan bahwa mukjijat dan pertolongan itu baru datang setelah suatu peristiwa/kejadian, karena jika tidak ada peristiwa/kejadian bagaimana mungkin Tuhan bisa menyatakan mukjijat dan pertolongannya.
Ini malah menyatakan bahwa Tuhan adalah orang iseng dan jahat, karena sampai mengorbankan seseorang untuk mewujudkan keinginan kecilnya dan menyatakan eksistensinya.
Semua itu adalah Aji Mumpung yang digunakan oleh beberapa umat Agama yang fanatik dan berpikir pendek dengan tujuan mempromosikan Agama dan Tuhannya, apakah ini tindakan yang pantas untuk dilakukan oleh seseorang yang bijaksana ?
Diri Sendiri
Sejak kita dilahirkan, kita mengalami/menjalani suatu proses belajar, dimana diri kita sendiri yang mengalami/menjalani proses tersebut, walaupun ada bantuan dari luar seperti orang tua dan saudara.
Sejak kita masuk ke bangku sekolah sampai tingkat universitas, kita juga mengalami/menjalani proses belajar tingkat lanjut, dimana masih tetap diri kita sendiri yang menjalani proses tersebut, walau ada bantuan dari guru dan teman sekolah.
Setiap tindakan baik dan buruk yang pernah kita lakukan juga tetap diri kita sendiri yang mengalami/menjalani nya walaupun ada bantuan dari orang lain. Jadi kita pasti mengalami suatu proses belajar untuk tingkat selanjutnya dimana pasti diri kita sendiri lah yang mengalami/menjalani proses tersebut.
Apakah berarti kita egois dan sombong, koq sampai diri kita sendiri yang melakukan semua proses belajar tersebut. Apakah bisa ada orang lain yang melakukan proses belajar tersebut untuk kita, dimana kita tidak perlu capek-capek untuk melalui proses belajar dan hasil yang diperoleh oleh orang lain yang menjalani proses tersebut juga kita peroleh, walau kita tidak mengalami/menjalani proses belajar tersebut ?
Bantuan dari luar diri kita memang ada, dalam semua hal tidak bisa dipungkiri kita mungkin membutuhkan bantuan orang lain dalam mengalami/menjalani proses belajar tersebut, tapi tetap saja kita sendiri lah yang menjalani dan melalui suatu proses itu.
Singkatnya kita lah pelaku/subject dari setiap proses, sedangkan bantuan dari orang lain hanya tambahan yang kadang kita perlukan dalam proses belajar kita dan tidak ada orang yang dapat mengantikan posisi kita dalam menjalani proses tersebut.
Semua perbuatan kita (baik dan buruk) merupakan hasil dari pikiran kita/apa yang kita inginkan/kehendaki dan kita lah subject dari pelaku perbuatan yang akan atau telah kita lakukan. Diri kita adalah musuh kita sendiri, jika musuh tersebut tidak dikalahkan maka diri kita akan menjalani proses yang negatif seperti melakukan hal buruk, malas-malasan dan tidak bersemangat. Tetapi jika kita bisa mengalahkan diri kita sendiri maka diri kita menjadi sahabat yang baik untuk kita.
Kita adalah pelaku dari perbuatan kita sendiri.
Rejeki / Keberuntungan ?
Saya punya seorang teman, 10 tahun yang lalu ia sangat kokoh memegang konsep Agamanya dan juga menjalankan setiap kegiatan dan ritual Agamanya. Setelah lama tidak bertemu, ternyata ia telah pindah ke Agama lain karena ia dituntut oleh pacarnya untuk masuk ke agama pacarnya, koq segampang itu ? padahal sebelumnya dia memegang konsep Agamanya cukup kuat.
Selain itu dia dan keluarganya memiliki masalah ekonomi yang kurang baik juga, bangku kuliah ia tinggal kan dan memilih untuk bekerja sebagai sales MLM, namun setelah menjalankan beberapa tahun, juga tidak ada hasil yang memuaskan. Saat ini ia hanya berprofesi sebagai pengajar les untuk siswa-siswi SMP-SMU dan memiliki penghasilan yang lumayan. Namun dia beranggapan bahwa Tuhan di Agama yang baru-nya lah memberikan dia rejeki/keberuntungan dibandingkan Tuhan di Agama sebelumnya. Apakah benar demikian ?
Saya teringat, bahwa Wakil Presiden kita seorang Muslim memperoleh rejeki/keberuntungan yang sangat berlimpah-limpah, bukan karena ia seorang Wakil Presiden, tapi sebelumnya ia adalah seorang pengusaha yang sukses.
Perusahaan property Ciputra adalah seorang Nasrani yang memperoleh rejeki/keberuntungan yang besar juga, ia memiliki aset property yang sangat banyak dan dapat menikmati kemewahan.
Owner salah satu produsen rokok terbesar di Indonesia adalah seorang Buddhist yang memperoleh rejeki/keberuntungan yang besar, sehingga ia dapat menikmati segala kemewahan.
Di Denpasar ada seorang pengusaha garmen yang sukses adalah seorang Hindust, juga memperoleh rejeki/keberuntungan yang besar, sehingga ia dan keluarganya pun dapat menikmati kemewahan.
Jadi Tuhan yang mana yang memberikan rejeki/keberuntungan ? jika ada yang mengatakan bahwa Tuhan dari Agama nya la yang memberikan rejeki/keberuntungan, maka bisa dikatakan ia berpikiran sempit karena pengertian dia hanya terbatas pada pemahaman Agama yang ia pelajari.
Jika hanya Tuhan dari Agama tertentu saja yang memberikan rejeki/keberuntungan, tentunya hanya manusia yang mempercayai Tuhan dari Agama itu saja yang memperoleh rejeki/keberuntungan, sedangkan manusia lainnya tidak akan pernah memperoleh rejeki/keberuntungan. Tetapi kenyataan/realitas di dunia menyatakan hal lain, bahwa setiap orang memiliki rejeki/keberuntungan nya masing-masing.
Apakah masih ada egoisme pribadi terhadap dogma Agama ?